}); I Love Pasaman Barat

Rabu, 26 Desember 2018

Gunung Pasaman

Gunung Pasaman
Titik tertinggi
Ketinggian2.174 mdpl
Geografi
LetakSumatera BaratIndonesia
Gunung Pasaman adalah gunung yang terletak di Kabupaten Pasaman Barat, Provinsi Sumatera Barat, berdampingan dengan Gunung Talamau. Gunung ini termasuk dalam tipe gunung api tidak aktif, dikenal juga dengan nama Puncak Rajo Imbang Langik, diambil dari nama raja yang pernah berkuasa di daerah tersebut pada zaman dahulu

Kamis, 29 November 2018

KINALI PASAMAN BARAT

Kinali  adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Pasaman Barat , Sumatera Barat , Indonesia. Kinmatan Kinali memiliki luas wilayah 482,69 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 52,552 jiwa, dan 9.398 rumah tangga (KK) yang terdiri dari 26.936 laki-laki dan 25.616 perempuan. adapun batas-batas wilayah kecematan adalah, sebelah utara berbatas dengan Kec. Luhak Nan Duo, selatan dengan Kec. III Nagari, sebelah barat dengan Samudera Indonesia dan sebelah timur dengan Kec. III Nagari. Kecamatan Kinali terdiri dari dua nagari, yaitu Nagari Kinali dan Nagari Katiagan-Mandiangin. Nama-nama jorong di Nagari Kinali adalah:      Sumber Agung, Wonosari, Ampek Koto, Langgam, Koto Gadang Jaya, Sidodadi, Bangun Rejo, Alamanda, Anam Koto Selatan, Anam Koto Utara,  dan  Sidomulyo . Sementara Nagari Katiagan-Mandiangin terdiri dari jorong Katiagan dan Jorong Mandiangin .   
Kawasan lain di daerah Pasaman Barat, Kecamatan Kinali, termasuk kawasan pesisir, yang berbatasan dengan kawasan perbukitan (Bukit Barisan). Sebelah barat yang berdekatan dengan pantai ([Samudera Indonesia]) adalah dataran rendah yang berawa-rawa. Dari sini tampak berdiri gunung yang menjulang indah, yaitu Gunung Pasaman dengan ketinggian 2190 m dan Talamau   dengan ketinggian 2913 m. Sebagai daerah yang dekat dengan pesisir, Kinali merupakan tempat mengalirnya beberapa sungai yang berasal dari berbagai daerah dataran tinggi bagian timur. Sungai-sungai tersebut adalah Batang Pinagar, Batang Paku, Batang Silambau, Batang Kinali, Batang Bunut, Batang Mandiangin dan Sungai Paku. Dari sungai-sungai inilah pengairan areal persawahan dan lahan penduduk, disamping juga untuk keperluan sehari-hari.
Penduduk Nagari Kinali bersifat heterogen bila ditinjau dari latar belakang etnik budaya. Ada tiga asal usul etnik utama yang mengatur daerah ini, yaitu Minang, Jawa dan Batak / Mandailing . Suku Minang adalah penduduk yang sudah lama mendiami daerah ini bertempat tinggal di kampung-kampung komunitas lokal      , seperti Langgam, Ampek Koto, Anam Koto Utara dan Anam Koto Selatan. Keberadaan etnik Jawa sebagian besar datang melalui program transmigrasi yang berlangsung selama tahun 1960-an s / d 1970-an. Khusus untuk Jorong Sidomulyo adalah pemukiman etnik Jawa yang penduduknya berasal dari bekas kantor keuangan Ophir milik Belanda. Setelah masa, mereka tinggal di berbagai desa di Pasaman Barat, termasuk Nagari Kinali. Etnik Batak / Mandailing mendiami berbagai wilayah dalam di Jorong Ampek Koto. Etnik Batak / Mandailing di Kinali umumnya bekerja dalam usaha pertanian, ladang dan menjaga ternak. Mereka yang berasal dari Tapanuli Utara  dan Tengah dan beragama Kristen kebanyakan ditemukan di Lapau Tampuruang, sementara yang berasal dari Tapanuli Selatan yang beragama Islam sebagian besar tinggal di Padang Lapai-Lapai dan Aia Putih.
Perekonomian Penduduk umumnya Bergantung pada Sektor Ekonomi Pertanian dan Perkebunan, terutama kelapa sawit , jagung , padi , padi gogo , kedele , singkong , cabe, kakao , kelapa , Dan kacang tanah . Dari luas kecamatan lebih dari separuhnya adalah areal perkebunan kelapa sawit, baik yang dimiliki oleh perusahaan swasta (PT), KUD , atau kebun milik rakyat. Ada tiga (3) buah pabrik pengolahan sawit yang beroperasi untuk menampung TBS masyarakat. Di Kecamatan Kinali terdapat empat pasar tradisional yaitu; Durian Kilangan               (Senin), Tampuruang (Minggu), Padang Canduah (Sabtu), dan Koto Panjang (Kamis) .Pasar bagi masyarakat Kinali merupakan salah satu sarana sosial yang sangat penting, karena sebagian besar hasil panen produk pertanian dan kebun penduduk dijual ke pasar dan kemudian dari pasar mereka berbelanja berbagai jenis kebutuhan untuk dikonsumsi. Disamping fungsi demikian hari juga bisa menjadi tempat istirahat bagi, sekitar para petani.      

Selasa, 27 November 2018

pasaman barat

pasaman barat di garis equator

                                                  pasaman barat ;ditengah garis equator...!!!

Tuanku Imam Bonjol


Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia 1772 - wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1838.[1] Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.[2]
Nama dan gelar
Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di Bonjol pada tahun 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin (ayah) dan Hamatun (ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota.[3] Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Riwayat perjuangan
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Padri
Tak dapat dimungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berperang adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (Bid'ah).
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau).[4] Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.
Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang, Dalam hal ini Kompeni melibatkan diri dalam perang karena "diundang" oleh kaum Adat.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek.
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. [5] Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an)).
Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama orang Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian? (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?).[5]
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837)[6] yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda, terdapat Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan seterusnya, tetapi juga terdapat nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenep, Madura). Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai orang-orang Bugis yang berada di bagian depan dalam penyerangan pertahanan Padri.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka juga disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.
Penangkapan dan pengasingan
Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan, dan pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia masih tak sudi untuk menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.
Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.
Penghargaan
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan,[7] sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.
Selain itu nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir di ruang publik bangsa sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001.[8]




Rujukan
1.       ^ Radjab, M., (1964). Perang Paderi di Sumatera Barat, 1803-1838. Balai Pustaka.
2.       ^ Direktorat Urusan Kepahlawanan dan Perintis Kemerdekaan, (1991), Wajah dan sejarah perjuangan pahlawan nasional, Vol. 3, Departemen Sosial R.I., Direktorat Urusan Kepahlawanan dan Perintis Kemerdekaan.
3.       ^ Muhammad Syamsu As, Ulama pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya, Lentera, 1996
4.       ^ G. Kepper, (1900), Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900, M.M. Cuvee, Den Haag.
5.       ^ a b Sjafnir Aboe Nain, , (2004), Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang: PPIM.
6.       ^ G. Teitler, 2004, Het einde Padri Oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie, Amsterdam: De Bataafsche Leeuw, 59-183.
7.       ^ Kompas 10/11/2007 Oleh Suryadi, Dosen dan Peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Zuidoost-AziĆ« en OceaniĆ«, Universiteit Leiden, Belanda
8.       ^ www.tokohindonesia.com Imam Bonjol,


Lahir 1772
Bonjol Meninggal 6 November 1864
Minahasa Kebangsaan Minangkabau Agama Islam